PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 25 menjelaskan bahwa definisi pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dan pengusaha.
Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Dengan berlakukan UU PPHI 2004 tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, untuk peraturan pelaksanaan kedua undang-undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU PPHI 2004.UU PPHI 2004, istilah sengketa yang digunakan adalah perselisihan atau perselisihan hubungan industrial.
UU PPHI 2004 Pasal 1 angka 1 menjelaskan, “Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau se-rikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”
Karena itu, dapat kita ketahui ada empat jenis perselisihan hubungan industrial sebagai berikut:
1. Perselisihan mengenai hak.
2. Perselisihan kepentingan
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja.
4. Perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
Dalam Pasal 1 angka 4 UU PPHI 2004 diebutkan bahwa, “Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.”
Dalam bahasa yang lebih sederhana atau mudah untuk menggambarkan ketentuan tersebut, baik pihak pengusaha/perusahaan maupun pekerja berbeda pendapat mengenai kapan suatu hubungan kerja berakhir. Pihak pengusaha kadang-kadang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pihak pekerja, tetapi pihak pekerja merasa dirugikan atas keputusan tersebut karena merasa masih berhak untuk bekerja.
Akibat dari perselisihan PHK selalu berkaitan dengan pemenuhan hak, kompensasi, atau pesangon atas pekerja dan kewajiban pengusaha untuk memenuhi kewajiban tersebut. Pemenuhan akan uang pesangon dan yang terkait dengan hak pekerja jika di-PHK menjadi suatu hal yang sangat krusial bagi pekerja itu sendiri. Hal tersebut disebabkan adanya PHK tersebut bisa membuat perekonomiannya berantakan. Oleh karena itu, jika dilihatdari masa kerja dan keuntungan yang telah didapat dari perusahaan atas jerih-payah seseorang layaklah kemudian pekerja tersebut memperoleh pesangon.
PHK berarti berkaitan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi pekerja dan kondisi keuangan dari perusahaan. Karenanya sangat wajar jika kemudian pemerintah melakukan intervensi, bukan hanya melindungi hak-hak pekerja, tetapi juga memerhatikan kemampuan dari keuangan perusahaan tersebut dengan memberikan pengaturan-pengaturan berpatokan standar, baik secara nasional maupun internasional.
Praktiknya, tidak semua perusahaan menerapkan ketentuan mengenai PHK dalam memberikan kompensasi pesangon kepada pekerja jika hubungan kerja berakhir. Hal tersebut kadang-kadang dikaitkan dengan status hukum dari perusahaan. Kata perusahaan selalu diidentikan dengan perseroan terbatas (PT), sehingga di luar status hukum tersebut, pihak pengusaha seringkali mengelak atau bahkan menanamkan pengertian kepada karyawannya bahwa perusahaannya bukan sebuah PT. Akibatnya, munculnya PHK tidak menjamin hak-hak pekerja menjadi utuh sesuai dengan yang diharapkan oleh undang-undang.
Mari kita perhatikan isi Pasal 150 UU Ketenagakerjaan 2003 yang menyebutkan, “Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Melihat isi pasal tersebut, badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain, harus mengikuti ketentuan
PHK. Dalam UU Ketenagakerjaan 2003, mereka itu sebagai berikut:
1. Badan usaha berbentuk badan hukum.
2. Badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum
3. Badan usaha milik persekutuan.
4. Badan usaha milik swasta.
5. Badan usaha milik negara.
6. Badan-badan sosial dan badan usaha lainnya yang memiliki pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Demikian artikel singkat dari Kami, Semoga bermanfaat artikel singkat ini bagi kita semua.
Hubungi kami :
*“PENGACARA MUSLIM”*
Head Office:
Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 46 A Garuntang, Teluk Betung Selatan,Bandar Lampung
Telp: (0721) 476113 Fax: (0721) 476113,704471,787806
Branch Office:
Jl. Monjali (Nyi Tjondroloekito) No 251, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta
Telp : (0274) 6411320 Fax : (0274) 6411322
PH/WA : 087838902766 Bbm : 5439F39
Email : lawoffice251@gmail.com
Website: www.pengacaramuslim.com
Twitter : @pengacaramuslim
Facebook : Pengacara Muslim