TEMPO.CO, Jakarta – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai ada lima masalah dalam revisi Undang-Undang
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Revisi itu baru saja disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat hari
ini, Kamis, 27 Oktober 2016.
Menurut peneliti ICJR, Anggara, revisi itu hanya mengakomodir kepentingan pemerintah agar sikap kritis masyarakat dikekang. “Perubahan ini setengah hati,
lebih banyak memberikan kewenangan baru kepada pemerintah,” ujar dia dalam keterangan persnya.
ICJR dan LBH Pers pun, kata Anggara, juga kecewa karena pembahasan revisi UU ITE selalu tertutup dari pantauan masyarakat. Dia berujar, tidak ada satu pun
rapat pembahasan revisi UU ITE yang dinyatakan terbuka oleh Komisi Komunikasi dan Informatika DPR.
Cara itu, ucap Anggara, merupakan bentuk kemunduran dan mencederai semangat untuk membuat DPR yang modern, transparan dan akuntabel. Selain itu, kata dia,
pemerintah seharusnya mencabut ketentuan Pasal 27 Ayat 3 yang memuat ketentuan larangan penyebaran informasi elektronik bermuatan penghinaan atau
pencemaran nama baik. “Tidak hanya mengurangi ancaman hukuman dari maksimal enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar menjadi empat tahun penjara dan denda
Rp 750 juta,” tuturnya.
Anggara menambahkan, perubahan itu berpotensi mengancam kebebasan ekspresi. Apalagi, kata dia, dalam KUHP ada ketentuan yang sama dan mampu menjangkau
perbuatan yang dilakukan melalui internet. “Pasal-pasal pidana itu masih bersifat karet, multi intrepretasi, dan gampang disalahgunakan,” katanya.
Perubahan hukum acara pidana UU ITE juga dinilai memberikan kewenangan yang terlalu luas bagi penegak hukum. Contohnya, kata dia, Pasal 43 Ayat 3 mengenai
penggeledahan atau penyitaan yang harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri dan Pasal 43 Ayat 6 mengenai penangkapan penahanan yang semula harus
meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu 1×24 jam disesuaikan dengan ketentuan KUHAP.
“Kami mengecam kemunduran proses pengadilan dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE,” kata Anggara.
Menurut dia, penangkapan dan penahanan masih memerlukan ijin dari Ketua Pengadilan. “Dengan menghilangkan izin dari Ketua Pengadilan, upaya paksa akan
menjadi diskresi aparat penegak hukum,” ujarnya.
Selanjutnya, kata dia, Pasal 29 terkait cyber bullying juga dikritik oleh ICJR serta LBH Pers. Menurut Anggara, pasal itu berpotensi menimbulkan
kriminalisasi yang berlebihan. “Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki definisi yang baku mengenai perundungan di dunia nyata. Namun, revisi UU ITE
malah memaksa memberikan pengertian baku mengenai perundungan di dunia maya.”
Karena tidak ada definisi baku mengenai perundungan di dunia nyata, Anggara menilai, rumusan yang digunakan akan banyak menimbulkan penafsiran. Karena itu,
menurut dia, tindak pidana kasus tersebut berpotensi besar disalahgunakan dalam penegakannya. “Dengan demikian, terbukalah celah pemberangusan kebebasan
ekspresi di dunia maya,” katanya.
Pasal 40 tentang penapisan konten dan blocking konten, menurut Anggara, juga menambah kewenangan pemerintah. Dalam pasal itu, pemerintah menyisipkan
kewenangan tambahan, yakni mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dan memutus akses terhadap
informasi elektronik bermuatan melanggar hukum.
Menurut Anggara, ICJR dan LBH Pers beranggapan ketentuan tersebut akan memudahkan pemerintah melakukan penyaringan dan memutus konten. Prosedur pemutusan
akses yang minim dan indikator muatan yang dilarang tidak memadai akan mengakibatkan kewenangan yang eksesif. “Ini gampang disalahgunakan oleh pemerintah,”
tutur Anggara.
Pasal terakhir yang menjadi perhatian ICJR dan LBH Pers, menurut Anggara, adalah terkait upaya seseorang untuk menghapus pemberitaan negatif dirinya di
masa lalu. Masalah itu, hanya dapat dilakukan setelah disetujui oleh pengadilan. “Ketentuan ini dapat menjadi alat ganda pemerintah di samping adanya
kewenangan penapisan konten,”ujar Anggara.
Ketentuan tersebut, Anggara menilai, dapat menjadi alat untuk mensensor berita. Seperti, kata dia, berita publikasi media, dan jurnalis di masa lalu.
“Praktik di Eropa, the right to be forgotten masih menjadi perdebatan serius meski implementasinya hanya terhadap mesin pencari atau search engine dan
tidak termasuk situs ataupun aplikasi tertentu,” katanya.
Sumber: https://nasional.tempo.co/read/news/2016/10/27/078815609/disahkan-dpr-ini-lima-kelemahan-revisi-uu-ite
Demikian Berita Tentang “Disahkan DPR, Ini Lima Kelemahan Revisi UU ITE”, semoga menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua.
*“PENGACARA MUSLIM”*
SOLUSI ISLAMI
Head Office:
Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 46 A Garuntang, Teluk Betung Selatan,Bandar Lampung
Telp: (0721) 476113 Fax: (0721) 476113,704471,787806
Branch Office:
Jl. Monjali (Nyi Tjondroloekito) No 251, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta